Pasca misi di markas Sang Kala Teknokrat, Ghiga kembali ke tempat persembunyiannya bersama Maya. Namun, suasana tim terasa berat. Arman telah berkhianat, Ki Harjo terluka parah, dan Baskara masih melanjutkan rencana jahatnya. Ghiga berjuang untuk tetap fokus, meskipun hatinya dipenuhi kekecewaan.
Ki Harjo, meskipun terluka, memanggil Ghiga untuk berbicara secara pribadi.
“Ghiga, aku mungkin tidak akan lama lagi,” ucap Ki Harjo dengan suara lemah.
“Jangan ngomong gitu, Ki. Kita pasti bisa sembuhkan luka ini,” balas Ghiga dengan nada penuh tekad.
Ki Harjo menggeleng pelan. “Aku sudah cukup tua untuk tahu batas tubuhku. Tugasmu sekarang adalah melanjutkan perjuangan ini. Jangan biarkan pengkhianatan Arman mengacaukan fokusmu.”
Sebelum meninggal, Ki Harjo memberikan Ghiga sebuah peta kuno yang menunjukkan lokasi pusaka leluhur terakhir. “Ini adalah Cakra Wicaksana, simbol kebijaksanaan dan keseimbangan. Jika Baskara mendapatkannya, kehancuran dunia tak bisa dielakkan.”
Ghiga menerima peta itu dengan mata berkaca-kaca. Ia bersumpah untuk melindungi pusaka terakhir tersebut, apa pun risikonya.
Arman dalam Bayang-Bayang
Di sisi lain, Arman yang kini berada dalam perlindungan Baskara mulai merasa dihantui rasa bersalah. Baskara memperlakukannya dengan dingin, hanya menganggapnya alat semata. Ia juga mulai melihat sisi gelap organisasi itu lebih jelas—penghancuran moral dan nilai-nilai manusia demi ambisi kekuasaan teknologi.
Di saat-saat kesendiriannya, Arman mengingat kembali persahabatannya dengan Ghiga. Rasa bersalah dan kerinduan untuk menebus kesalahannya mulai menguat. Namun, ia tahu jalan kembali tidak akan mudah.
Menuju Pusaka Terakhir
Ghiga, bersama Maya, mulai mempelajari peta yang diberikan Ki Harjo. Pusaka terakhir berada di sebuah desa terpencil di lereng Gunung Semeru, yang dikenal dengan nama Desa Parangdowo. Desa ini dijaga oleh komunitas tradisional yang masih memegang erat nilai-nilai leluhur.
Perjalanan ke desa itu penuh dengan rintangan. Baskara telah mengerahkan timnya untuk menemukan pusaka terlebih dahulu. Ghiga dan Maya harus bergerak cepat, menghindari jebakan dan serangan dari agen-agen Sang Kala Teknokrat.
Setibanya di Desa Parangdowo, Ghiga disambut dengan penuh kecurigaan oleh penduduk setempat. Namun, seorang tetua desa, Pak Wiryo, yang ternyata mengenali nama keluarga Setiawan, menerima mereka dengan tangan terbuka.
“Sudah lama kami menunggu keturunan Setiawan datang,” kata Pak Wiryo. “Hanya pewaris sejati yang bisa membawa pusaka ini keluar dari tempatnya.”
Serangan Mendadak
Namun, sebelum Ghiga bisa mendekati tempat pusaka, agen-agen Baskara menemukan lokasi desa. Dengan senjata canggih mereka, mereka menyerang desa dan memaksa penduduk keluar.
Ghiga, Maya, dan para pemuda desa berusaha melawan dengan apa yang mereka miliki. Di tengah pertempuran, Ghiga menyelinap ke dalam gua tempat Cakra Wicaksana disembunyikan.
Ketika ia menemukan pusaka itu, ia dihadapkan pada ujian terakhir. Pusaka hanya akan bekerja jika diambil oleh seseorang yang hatinya benar-benar murni. Ghiga harus melawan rasa marah dan dendam terhadap Arman untuk membuktikan dirinya layak.
Dengan doa dan keikhlasan, Ghiga berhasil mengambil Cakra Wicaksana. Namun, Baskara muncul tepat pada saat itu, membawa teknologi canggih yang bahkan mampu melumpuhkan energi pusaka.
“Ini adalah akhir permainan, Ghiga,” kata Baskara dengan senyum licik.
Pengkhianat yang Kembali
Saat situasi semakin genting, Arman tiba-tiba muncul. Kali ini, ia bukan untuk membantu Baskara, melainkan untuk menebus kesalahannya.
“Ghiga, aku tahu aku nggak layak untuk dimaafkan,” ucap Arman dengan nada penuh penyesalan. “Tapi aku nggak bisa biarkan Baskara menang.”
Bersama-sama, Ghiga dan Arman melawan Baskara dalam pertarungan epik. Arman menggunakan keahliannya dalam teknologi untuk melumpuhkan perangkat Baskara, sementara Ghiga memanfaatkan kekuatan Cakra Wicaksana dan ilmu silatnya untuk menghadapi Baskara secara langsung.
Pengorbanan Terakhir
Dalam pertempuran itu, Arman mengorbankan dirinya untuk melindungi Ghiga. Ia melompat di depan serangan terakhir Baskara, melindungi sahabatnya dari tembakan mematikan.
“Jaga dunia ini, bro,” ucap Arman sebelum mengembuskan napas terakhir.
Dengan kemarahan yang terkontrol, Ghiga akhirnya mengalahkan Baskara, menghancurkan teknologi gelapnya, dan menyegel kekuatan Cakra Wicaksana agar tidak bisa disalahgunakan lagi.
Keseimbangan Baru
Setelah pertempuran selesai, Ghiga kembali ke Desa Parangdowo untuk mengembalikan Cakra Wicaksana ke tempatnya semula. Ia sadar bahwa kekuatan besar itu harus tetap dijaga di tempat yang aman.
Pak Wiryo berkata, “Kau telah membuktikan dirimu, Ghiga. Tetapi ingat, tugasmu belum selesai. Dunia ini terus berubah, dan ancaman akan selalu ada.”
Ghiga kembali ke Surabaya, membawa pelajaran berharga tentang persahabatan, pengorbanan, dan pentingnya menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas. Meski telah kehilangan banyak hal, ia bertekad untuk melanjutkan perjuangan leluhurnya demi masa depan yang lebih baik.
Bagian ini diakhiri dengan Ghiga berdiri di tepi jembatan Suramadu, memandang cakrawala dengan semangat baru, menyadari bahwa perjalanan ini adalah awal dari tugas yang jauh lebih besar.