Dengan data yang berhasil mereka bawa dari pusat data, Ghiga, Maya, dan Reza mulai mengurai teka-teki besar yang ditinggalkan oleh Ratri. File-file itu mengarahkan mereka pada beberapa lokasi penting di Indonesia, termasuk Surabaya, Bandung, dan Yogyakarta.
“Lihat ini,” kata Reza sambil menunjukkan peta digital yang dihasilkan dari analisis data. “Ratri menyebarkan titik-titik pemancar untuk Proyek Pralaya. Jika kita bisa menonaktifkan semua pemancar ini, dia tidak akan punya akses penuh untuk meluncurkan program AI-nya.”
Ghiga mengamati peta itu dengan cermat. “Tapi setiap lokasi pasti dijaga ketat, dan waktu kita tidak banyak. Kita harus bertindak cepat dan hati-hati.”
Namun, saat mereka mencoba melacak lokasi pertama, salah satu titik di Surabaya tiba-tiba menghilang dari sistem.
“Ini tidak mungkin,” gumam Reza. “Dia tahu kita melacaknya.”
“Ratri bermain lebih cepat dari yang kita kira,” ujar Maya. “Dia sengaja membuat kita berpacu dengan waktu.”
Misi di Surabaya
Lokasi pertama yang mereka tuju adalah sebuah gudang tua di pinggiran Surabaya. Sesuai dengan informasi, tempat itu digunakan untuk menyembunyikan pemancar kecil yang terkoneksi dengan jaringan Ratri.
Saat tiba di sana, Ghiga dan timnya disambut dengan keheningan yang mencurigakan. Tidak ada penjaga, tidak ada tanda-tanda aktivitas.
“Ini jebakan,” kata Maya dengan nada waspada.
“Kalau memang jebakan, kita harus siap,” jawab Ghiga sambil mengeluarkan alat pelacaknya.
Benar saja, begitu mereka memasuki gudang, pintu besar tertutup otomatis, dan suara mekanik terdengar.
“Selamat datang, Ghiga,” suara Ratri terdengar dari speaker. “Kamu selalu selangkah lebih lambat dariku. Tapi aku suka itu. Membuat permainan ini semakin menarik.”
Tiba-tiba, lantai gudang berguncang, dan dari dalam tanah muncul beberapa robot tempur yang dirancang untuk menyerang secara otomatis.
Pertarungan dengan Mesin
Ghiga dan Maya berhadapan dengan robot-robot tersebut, yang dilengkapi dengan senjata canggih dan kecepatan luar biasa.
“Ghiga, aku butuh waktu untuk membuka pintu keluar!” teriak Reza dari alat komunikasi.
“Berapa lama?” balas Ghiga sambil melawan serangan robot.
“Lima menit, kalau aku tidak dihentikan oleh firewall-nya!”
Dengan keterampilan silatnya, Ghiga menggunakan gerakan cepat dan strategi untuk mengalahkan robot-robot itu. Ia memanfaatkan kelemahan mekanik di persendian mereka untuk melumpuhkan mereka satu per satu.
Maya, yang juga ahli bela diri, berhasil menghindari serangan dan membantu Ghiga melindungi alat pelacak dari serangan robot.
Namun, salah satu robot berhasil mengenai bahu Ghiga dengan senjatanya, menyebabkan ia terluka.
“Kita tidak bisa terus begini!” teriak Maya sambil membantu Ghiga berdiri.
“Pintu hampir terbuka!” jawab Reza.
Dengan sisa tenaga, Ghiga menggunakan alat pelacak untuk menciptakan gangguan elektromagnetik, yang akhirnya menghentikan robot-robot itu untuk sementara waktu.
Petunjuk Baru
Setelah mereka berhasil keluar, Ghiga menemukan sebuah perangkat kecil yang terhubung dengan sistem robot tersebut. Dengan keahlian hacking-nya, ia berhasil membuka file yang tersimpan di dalam perangkat itu.
“Ini jadwal peluncuran Proyek Pralaya,” kata Ghiga sambil membaca data tersebut. “Ratri akan meluncurkan program AI-nya dalam waktu tujuh hari. Dan lokasi terakhirnya... ada di Yogyakarta.”
Namun, di tengah kegembiraan mereka menemukan petunjuk baru, Reza tiba-tiba berbicara dengan nada panik.
“Ghiga, kita punya masalah. Sistem kita diretas. Seseorang sedang mencoba melacak lokasi kita sekarang!”
“Ratri tidak akan membiarkan kita kabur begitu saja,” ujar Maya.
Dengan cepat, mereka meninggalkan lokasi untuk menghindari serangan berikutnya. Ghiga tahu, waktu mereka semakin sedikit, dan setiap langkah harus diperhitungkan dengan matang.