Ghiga: Pewaris Takdir Leluhur Session 1 Bagian 21

 Setelah mengamankan data dari Surabaya, Ghiga, Maya, dan Reza segera bersiap menuju Yogyakarta—lokasi yang disebut sebagai titik terakhir dalam peluncuran Proyek Pralaya. Namun, perjalanan mereka tidak semulus yang direncanakan.  


Di tengah perjalanan, mereka dikejar oleh pasukan bayaran yang dikirim Ratri. Dalam upaya untuk menghindari serangan, Ghiga harus menggunakan keahliannya untuk memanipulasi sistem lalu lintas kota.  


“Reza, aku butuh kamu akses server transportasi,” ujar Ghiga sambil mengetik cepat di laptopnya.  


“Aku coba, tapi ini sistem yang berat!” balas Reza.  


Ghiga akhirnya berhasil mengubah jalur lampu lalu lintas, menciptakan kekacauan di jalan untuk memperlambat musuh. Maya mengambil alih kemudi, menghindari mobil-mobil yang nyaris menabrak mereka.  


“Kita tidak akan bisa terus seperti ini,” kata Maya dengan nada cemas.  


Ghiga menenangkan Maya. “Percayalah, kita akan keluar dari ini.”  


Setelah melarikan diri, mereka akhirnya tiba di Yogyakarta. Di kota ini, mereka harus bergerak diam-diam karena kehadiran mereka sudah terdeteksi oleh jaringan Ratri.  


Situs Kuno di Prambanan  


Data yang mereka bawa menunjukkan bahwa titik terakhir Proyek Pralaya berlokasi di sekitar kompleks Candi Prambanan. Namun, lokasinya tersembunyi di sebuah situs bawah tanah yang belum terdeteksi oleh pemerintah setempat.  


“Aku tidak percaya dia akan menggunakan tempat bersejarah seperti ini,” kata Maya sambil memandang Candi Prambanan di kejauhan.  


“Ratri tahu persis bagaimana memanfaatkan simbol-simbol budaya untuk mendukung rencananya,” jawab Ghiga.  


Mereka mulai mencari jalan masuk ke situs bawah tanah tersebut. Berbekal peta digital yang diperoleh dari perangkat di Surabaya, Ghiga memimpin timnya melalui lorong-lorong gelap di dekat kompleks candi.  


Namun, mereka tidak sendirian. Pasukan Ratri sudah menunggu di sana, kali ini dilengkapi dengan senjata modern yang menggunakan teknologi AI.  


Pertarungan di Lorong Bawah Tanah  


Lorong-lorong itu berubah menjadi medan pertempuran. Ghiga dan Maya harus melawan pasukan Ratri dalam kegelapan yang hampir total.  


Maya menggunakan keahliannya dalam bela diri untuk menjatuhkan musuh satu per satu. Ghiga, meskipun masih terluka dari pertarungan sebelumnya, tetap bertarung dengan penuh semangat.  


“Tahan mereka! Aku akan membuka pintu masuk ke ruang utama!” teriak Reza dari laptopnya.  


“Tapi kita sudah terdesak!” balas Maya.  


Ghiga melihat situasi dengan cepat dan membuat keputusan berani. Ia menggunakan alat pelacaknya untuk membuat ledakan kecil, memblokir sebagian lorong dan memperlambat musuh.  


“Reza, kita tidak punya banyak waktu!”  


“Sebentar lagi!” Reza akhirnya berhasil membuka pintu menuju ruang utama, tempat perangkat inti Proyek Pralaya disembunyikan.  


Rahasia Proyek Pralaya  


Saat mereka memasuki ruang utama, mereka terkejut melihat perangkat besar yang dipasang di tengah ruangan. Mesin itu adalah kombinasi teknologi modern dan elemen tradisional Jawa, seperti ukiran-ukiran kuno yang terpahat di sekitarnya.  


“Ini inti dari semuanya,” kata Ghiga sambil mendekati mesin itu.  


Namun, sebelum Ghiga bisa melakukan apa-apa, Ratri muncul bersama beberapa pengawalnya.  


“Selamat datang di akhir permainan, Ghiga,” kata Ratri dengan senyum penuh kemenangan.  


Ghiga dan Maya bersiap untuk bertarung, tetapi Ratri tampak tenang.  


“Kalian tidak mengerti, kan? Proyek Pralaya bukan tentang kehancuran. Ini tentang menciptakan dunia baru, di mana teknologi dan kekuatan tradisional bersatu untuk mengontrol umat manusia. Aku hanya memberikan arah yang lebih baik.”  


“Dengan menghancurkan kebebasan mereka?” balas Ghiga dengan marah.  


“Kadang, kebebasan adalah kelemahan, Ghiga. Dan aku akan membuktikannya malam ini.”  


Dilema Terakhir  


Ratri menunjukkan perangkat kontrol yang bisa mengaktifkan Proyek Pralaya. “Kamu punya dua pilihan: menghentikanku dan menghancurkan teknologi ini, atau bergabung denganku dan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar.”  


Ghiga berdiri di persimpangan moral yang sulit. Mesin itu adalah warisan dari leluhurnya, tetapi jika jatuh ke tangan Ratri, dunia akan berada dalam bahaya besar.  


Dengan tekad yang kuat, Ghiga menatap Ratri. “Aku memilih untuk melindungi apa yang benar, bukan apa yang mudah.”  


Pertarungan terakhir pun dimulai.