Setelah pertempuran terakhir di Desa Parangdowo, Ghiga mencoba kembali menjalani kehidupan normal di Surabaya. Namun, pengalaman yang ia lalui telah mengubahnya. Ia bukan lagi pemuda biasa yang hanya menguasai teknologi dan silat; ia sekarang adalah penjaga keseimbangan, penerus warisan leluhur yang diakui oleh alam dan pusaka kuno.
Ghiga memutuskan untuk mendirikan sebuah komunitas kecil, Komunitas Jagat Lintang, yang berfokus pada pelestarian budaya Jawa sekaligus memanfaatkan teknologi modern untuk membantu masyarakat. Ia ingin memastikan bahwa apa yang telah ia pelajari tidak berakhir hanya sebagai cerita pribadi.
Menghadapi Luka Kehilangan
Meskipun ia telah menang, luka kehilangan orang-orang terdekatnya masih terasa. Ghiga sering merenungkan pengorbanan Ki Harjo dan Arman. Sosok Arman terutama terus menghantui pikirannya.
“Kalau saja aku bisa lebih percaya padanya lebih awal…” gumamnya saat menatap foto lama mereka berdua di layar laptopnya.
Maya mendekatinya, mencoba menghibur. “Kamu tahu, Arman memilih untuk menebus kesalahannya di saat terakhir. Itu artinya dia tidak pernah benar-benar melupakan siapa dirinya sebenarnya. Kamu harus mengingatnya dengan bangga, bukan dengan rasa bersalah.”
Kata-kata Maya menjadi pengingat bagi Ghiga bahwa meskipun pengkhianatan terjadi, kesempatan kedua selalu mungkin, bahkan di detik terakhir kehidupan.
Ancaman Baru di Era Teknologi
Di tengah usahanya membangun Komunitas Jagat Lintang, Ghiga mulai mendengar desas-desus tentang teknologi canggih yang kembali digunakan untuk tujuan destruktif. Meski Baskara telah tiada, banyak pihak lain yang mencoba melanjutkan ambisinya. Salah satu nama yang sering terdengar adalah "Ratri," seorang tokoh misterius yang disebut-sebut sebagai pewaris ambisi Sang Kala Teknokrat.
Ratri memiliki pendekatan berbeda. Ia tidak hanya mengandalkan kekuatan teknologi, tetapi juga memanipulasi informasi dan opini publik untuk menciptakan kekacauan. Banyak masyarakat mulai terpecah karena hoaks dan propaganda yang ia sebarkan.
Ghiga tahu bahwa tugasnya belum selesai. Dunia teknologi yang ia kuasai sekarang telah menjadi medan perang baru.
Misi Baru Dimulai
Dalam salah satu seminar yang diadakan oleh komunitasnya, seorang pemuda bernama Adi mendekati Ghiga.
“Mas Ghiga, saya mendengar cerita tentang perjuanganmu. Saya juga ingin belajar bagaimana menggunakan teknologi untuk hal-hal baik,” kata Adi.
Ghiga tersenyum. “Kamu sudah di jalan yang benar, Adi. Mari kita mulai dari sini. Dunia butuh lebih banyak orang seperti kamu.”
Namun, di balik semangat itu, Ghiga merasakan firasat bahwa pertempuran dengan Ratri akan jauh lebih rumit. Kali ini, musuhnya bukan hanya senjata atau teknologi canggih, tetapi juga manipulasi pikiran manusia.
Penutup: Cahaya Harapan
Di malam yang tenang, Ghiga berdiri di balkon rumahnya, memandang kerlap-kerlip lampu kota Surabaya. Ia menggenggam liontin kecil pemberian Ki Harjo, sebuah simbol dari Jagat Lintang.
Maya mendekat dan berdiri di sampingnya. “Apa rencanamu sekarang, Ghiga?”
“Melanjutkan apa yang sudah dimulai,” jawab Ghiga. “Ini bukan hanya tentang melindungi pusaka atau menghentikan musuh. Ini tentang menciptakan dunia yang lebih baik, di mana tradisi dan teknologi bisa hidup berdampingan.”
Dengan tekad yang baru, Ghiga melangkah ke dalam gelap malam, membawa semangat dan nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhurnya.
Epilog:
Di suatu tempat di sudut gelap kota, Ratri tersenyum dingin di depan layar besar yang memantau aktivitas masyarakat. “Ghiga Setiawan,” katanya pelan, “kita akan segera bertemu. Dan kali ini, dunia akan melihat siapa yang benar-benar pantas menguasainya.”